Sunday, May 10, 2020

GURU

Sumber gambar: destyarahmawati.blogspot.com
Cerpen Putu Wijaya

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.

"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."

Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.

Friday, May 8, 2020

HEGEMONI DALAM DRAMA MONOLOG DARI TIGA KAMAR OLEH TEATER CATUR PASURUAN


Drama Monolog dari Tiga Kamar karya Iswadi Pratama merupakan salah satu drama yang sering dipentaskan oleh berbagai kalangan seniman untuk pertunjukan teater. Drama ini berkisah tentang seorang tokoh berprofesi sebagai seorang pengarang, dimana ia mengalami konflik batin hebat akibat dari pilihan hidupnya tersebut. Di babak pertama cerita, tampak tokoh utama memerankan bagaimana sulitnya menjadi seorang pengarang. Walaupun di usia yang cukup matang, tokoh harus tetap bekerja secara keras tanpa adanya sebuah penghargaan berarti yang ia terima. Bahkan, tak segan ia mengutarakan perasaan sesal mengapa ia memilih jalan tersebut dan tidak menjadi orang-orang pada umumnya untuk
menjalani hidup. Setiap hari ia harus meluangkan waktu untuk menjadi pengarang dengan tuntutan dari penerbit. Pada babak kedua, tokoh utama berada pada setting tampak lebih muda dimana digambarkan itu adalah awal mula ia memilih jalan sebagai seorang pengarang. Diceritakan bahwa kala itu ia terinspirasi oleh guru bahasa Indonesianya yang memberikan ia sebuah puisi yang membuat hidupnya berubah. Ia memilih untuk menjadi seorang pengarang ketika semua orang menertawakannya, namun tak ada yang melarangnya. Dari sanalah konflik batin tokoh muncul ketika masa muda dan masa tuanya berkata sebaliknya akibat pilihan menjadi seorang pengarang. Di babak ketiga, tampak tokoh utama sudah berada di usia senja yang memberikan sebuah akhir misteri terhadap drama ini.
Apabila dilihat, dalam drama tersebut jelas tampak sekali bagaimana ada hegemoni di dalamnya. Teori hegemoni Gramsci mengklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu hegemoni moral dan hegemoni intelektual. Kedua hegemoni ini pun jelas tampak di dalam drama Monolog dari Tiga Kamar. Kedua hegemoni ini digambarkan jelas melalui dialog tokoh utama yang membuat bagaimana sengsaranya menjadi seorang pengarang.
Apabila dilihat dalam jenis hegemoni intelektual, terdapat bentuk hegemoni yang ada dalam drama ini, yaitu (1) Menuurut orang-orang profesi pengarang itu tidak menghasilkan apa-apa dan cenderung susah, (2) Orang tua menghendaki untuk berkuliah jurusan yang menghasilkan, dan (3) Teman-teman menertawakan tokoh karena pilihan menjadi pengarang. Sedangkan, apabila dilihat dari hegemoni moral, maka bentuk hegemoni tersebut, yaitu (1) Penyesalan menjadi seorang pengarang dan (2) Seorang anak gadis tidak memiliki kesempatan untuk menjalani hidup sesuai keinginannya.

Menuurut Orang-Orang Profesi Pengarang Itu Tidak Menghasilkan Apa-Apa dan Cenderung Susah
bentuk hegemoni ini tampak di babak pertama atau kedua dalam drama. Tokoh utama menjelaskan bahwa pandangan orang-orang lebih mendewakan pekerjaan yang memiliki status sosial tinggi, seperti PNS, TNI, Polisi, dan sebagainya dalam hidup. Hal ini tentu menjadi hegemoni tersendiri pada tokoh utama oleh orang-orang dimana dia ingin menjadi seorang pengarang sesuai dengan kehendaknya. Pada dialog yang menunjukkan hegemoni ini dikatakan bagaimana orang-orang memandang rendah terhadap profesi pengarang yang tak menghasilkan dan tak bisa memberis status sosial apa-apa.

Orang Tua Menghendaki Untuk Berkuliah Jurusan yang Menghasilkan
Pada dialog di dua babak pertama drama juga dijelaskan adanya penyesalan, mengapa tokoh utama tidak patuh pada orang tua untuk berkuliah pada jurusan yang lebih menjanjikan untuk masa depannya. Tentunya dari sini dapat diketahui terdapat hegemoni oleh orang tua terhadap anaknya, dimana seorang anak biasanya tidak diperkenankan untuk memilih tujuan hidupnya sendiri karena orang tua ingin melihat anaknya berhasil sesuai dengan keinginannya. Padahal, anak pun bisa berhasil sesuai dengan keinginannya sendiri. Bagaimana tokoh utama diharapkan oleh orang tua untuk berkuliah di jurusan yang lebih baik dengan pengorbanan menjual tanah yang dimiliki merupakan suatu hegemoni intelektual.

Teman-Teman Menertawakan Tokoh Karena Pilihan Menjadi Pengarang
Hegemoni oleh teman-teman tokoh utama juga ditunjukkan dalam babak kedua drama ini. Teman-temannya cenderung menertawakan bagaimana sang tokoh seakan-akan memiliki dunia sendiri yang tidak sejalan dengan dunia orang lain pada umumnya. Dengan menertawakan si tokoh utama karena pilihannya menjadi pengarang dan suka dengan hal berbau sastra, maka bentuk hegemoni doleh teman-temannya adalah bentuk meremehkan dari mereka terhadap pecinta sastra.

Penyesalan Menjadi Seorang Pengarang
Hegemoni selanjutnya dalam bentuk penyesalan oleh tokoh utama menjadi seorang pengarang. Mengapa hal ini bisa dikatakan sebagai sebiah hegemoni, karena tokoh utama menghegemoni diri sendiri telah memilih profesi sebagai seorang pengarang. Ia mensugesti diri sendiri bahwa menjadi pengarang itu sangat melelahkan dan tidak ada hasilnya. Bahkan, ia menyesal telah memilih jalan ini karena hingga keadaannya yang sudah matang masih belum ada tanda bahagia.

Seorang Anak Gadis Tidak Memiliki Kesempatan Untuk Menjalani Hidup Sesuai Keinginannya
Hegemoni moral selanjutnya adalah tidak diperbolehkannya seorang anak gadis untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Hegemoni semacam ini diberikan oleh banyak orang kepada seorang anak gadis karena dianggap kurang mampu. Termasuk demikian kepada tokoh utama. Dijelaskan dalam monolognya pada babak kedua bahwa seorang anak gadis tidak diperkenankan memilih jalan hidupnya dan cenderung diremehkan tak mampu menjadi sebuah keberhasilan. Tentu saja ini berhubungan dengan hegemoni terhadap kaum wanita yang ditentang jelas oleh kaum feminis saat ini.

Drama Monolog dari Tiga Kamar merupakan salah satu drama yang memberikan kisah terbaik yang mengkonstruksi kehidupan seorang pengarang. Bagaimana banyaknya bentuk hegemoni ketika seseorang memutuskan menjadi seorang pengarang, baik oleh teman, orang tua, masyarakat, hingga diri sendiri. Hegemoni-hegemoni tersebut didasakan pada tidak adanya kekonkritan yang dihasilkan oleh seorang pengarang dalam menjalani profesinya dan itu dilukiskan dalam drama ini. Drama yang dibawakan oleh Teater Catur, Pasuruan ini begitu memukau sehingga kita bisa langsung melihat betapa berat kehidupan seorang pengarang dengan banyaknya hegemoni yang didapatkannya.