MENELAN
PAGI
Oleh
Fuat Anggrianto
Pagi, sudah kuhilangkan istilah
itu dari pikiranku. Aku tidak pernah mengenal lagi pagi. Bagiku hidupku
berjalan pada tiga waktu saja, yaitu malam, siang, dan sore. Tidak ada yang
namanya pagi, matahari terbit dengan malu-malu dari arah timur, ayam-ayam
berkokok, burung-burung mulai bersiul, pohon-pohon yang tampak segar dengan
embun yang mencoba untuk membasahi setiap daunnya, para ibu berangkat ke pasar
untuk berbelanja, para ayah meminum kopinya, dan angin mengiris tipis
kedinginan yang akan mulai beranjak hangatnya mentari. Itu hanyalah omong
kosong semata.
***
Hmm.
Nikmat terasa ketika aku memutarkan sedikit punggungku ke kanan dan kiri,
“kretek” bunyi punggungku yang telah menikmati tidurnya semalam. Kurapikan
spray tempat tidurku, dan kemudian kulipan selimut tipisku berwarna putih
dengan garis-garis hitam. Aku mulai bangun dari tempat tidur sponsku yang mulai
mencekung. Sedikit kurasakan mual dan mata berkunang-kunang. Itu hal biasa,
terkadang pandanganku tiba-tiba samar. Kata teman-temanku di kantor itu karena
aku mengalami kurang darah ketika tidur. Setelah itu aku cepat-cepat mandi,
makan, minum kopi, dan segera merias diri.
Sudah
tidak sabar aku ingin menemuinya, berbicara dengannya, dan bergurau dengannya.
Setiap hari selalu kulalui bersamanya. Bagiku ia adalah tema terbaik, terindah,
dan segala-galanya. Kadang ia tampak seperti temanku, kadang ia tampak seperti
kakakku, kadang ia tampak seperti ibuku, dan kadang ia tampak seperti
kekasihku. Ketika waktunya telah sampai ia selalu menungguku, selalu ada
untukku, di saat aku senang, sedih, marah, dan hina sekalipun. Pagi, itulah
dia. Sudah tak sabar aku ingin bertemu denganmu. Kupercepat gerakanku agar aku
bisa segera bertemu denganmu. Bajuku putih bergaris hitam telah kusetrika,
rammbutku telah kusisir ke arah kanan, dan jam tangan menunjukkan waktu 06.00
telah aku kenakan. Akupun segera bergegas menuju ke tempatmu. Sudah tak sabar
aku ingin melihat keindahanmu pagi.
“hai,
kenapa hari ini kau datang lebih pagi daripada biasanya?”
kalimat pertama pagi untukku di
hari itu. mendengar suaranya pun hatiku terasa membunga dan untuk sekkejap aku
terbang.
“iya,
aku ingin lebih awal melihatmu karena ini hari minggu. Sudahkah kau sarapan?
Aku membawakanmu nasi putih dan telur mata sapi untukmu” jawabku.
Akhirnya kami meneruskan
pembicaraan dengan sarapan pagi yang telah aku bawa dan aku buat dengan penuh
cinta. Sungguh ini hari yang sangat menyenangkan. Melihatnya saja kurasakan
walaupun aku tak makan satu minggu aku kuat ketika aku berada disampingnya. Setiap
aku berbincang dengannya selalu aku merasakan ketenangan. Setiap masalah yang
kuceritakan padanya, selalu menemukan jawaban yang menenangkan. Selalu ketika aku
mendapatkan banayak masalah aku selalu mencurahkan pada pagi. Tak jarang ia
memberikanku solusi yang brilian. Memecahkan masalahku. Sehingga hariku kembali
bersemangat.
“pagi,
aku ingin berkeluh kesah padamu. Akhir-akhir ini aku merasa sepertinya aku
sudah dilupakan oleh kawan-kawanku. Setiap hari di kantor aku tak pernah
disapa. Setiap aku lewat di depan mereka, tak pernah mereka melihat ke arahku.
Yang terparah kemarin, aku dipanggil oleh menejerku, aku dimarahi, ia bilang
bahwa aku tak profesional, tak becus dalam bekerja, dan aku tak bisa apa-apa.
Beliau juga telah menuduhku ingin menggulingkannya dari jabatan.ia menganggap
bahwa aku telah menyusun rencana untuk menjatuhkan nama baiknya.” Curahku
“kau
seharusnya tak perlu terpancing olehnya, mungkin sajalah dia sekedar ingin
memperbaiki semangatmu”
“tidak
pagi, tidak. Beliau memang menganggap aku ini sampah yang tidak mampu melakukan
apa-apa. Aku sudah lelah pagi. Aku lelah dengannya. Selalu menyuruh,
mengomentari pekerjaanku. Tapi pekerjaannya sendiripun berantakan. Beliau suka
tidur, kemana-mana selalu menyuruh bawahannya. Aku ingin membalas dendam
padanya. Aku punya rencana. Bantulah aku paagi.” Pintaku
“bantu
apa? Rencana apa yang kau maksudkan?”
“ikutlah
bersamaku pagi, kita hidup berdua seperti keluarga yang merdeka. Biarlah
orang-orang itu kehilangan pagi. Sehingga mereka selamanya tak akan pernah
merasakan pagi. Biar mereka tau bahwa mereka juga punya kettergantungan padamu
pagi. Ikutlah bersamak.” Pintaku
Aku menarik tangannya dan
membawanya berlari menuju kerumahku tanpa mendengar jawaban pagi. Seketika aku
menjadi marah pada semua orang karena mereka semua tak pernah menganggapku ada.
Sekarang pagi bersamaku. Ia bersamaku. Biarkan orang-orang kehilangan pagi
mereka. biar mereka tak dapat melihat pagi mereka kembali. Biarkan mereka tau
bagaimana rasanya menjadi orang yang terkambinghitamkan.
***
Sudah
satu bulan waktu berlalu tanpa pagi. Orang-orang yang dulunya semangat
menghirup udara segar, ayam-ayam berkokok, ibu pergi ke pasar, ayah minum kopi,
dan embun membasahi tanaman kini telah tiada. Kini orang-orang mulai gempar
ditinggal pagi. Para pemadam kebakaran setiap hari menyiramkan airnya ke
tanaman-tanaman. Para polisi membunyikan sirinenya layaknya suara kokokan ayam.
Kota benar-benar kacau tanpa pagi.
“ini
benar-benar gawat pak wali kota, kita harus segera mencari pagi. Jika pagi
tidak ditemukan maka kita tidak akan memiliki semangat untuk hidup” ucap sang
ajudan. “baiklah kuperintahkan kepada seluruh rakyatku, carilah pagi dimanapun
sampai ketemu. Dan yang bisa menemukan pagi akan ku bayar dengan seluruh uang
yang ada di kas pemerintahan.” Ucap wali kota. Setiap orang yang dulunya
pekerja, kini semua bingung tanpa semangat. Mereka akhirnya berebut untuk
mencari pagi. Karena dengan pagi mereka dapat bayaran yang berlimpah. Yang
dulunya menejer, teman kerjaku, tetanggaku, dan seluruh orang kini telah
ramai-ramai mencari pagi. Mereka tidak akan tau kalau pagi ada denganku di
rumahku.
“lihatlah
pagi, akhirnya mereka mengerti akan artinya ketidakpuasan. Aku puas dengan apa
yang kulakukan. Aku disini dapat hidup denganmu. Bahagia. Sedangkan mereka
disana bingung dengan segala bentuk mencari kebahagian yang dulu pernah mereka
dapatkan.” Ucapku
“dengarlah
aku. Bukan ini cara meraih mimpimu. Kau melakukan hal yang baik bagimu sendiri
tapi belum tentu untuk orang lain. Dengarkan aku, sampaikapanpun mimpi akan
tetap menjadi mimpi jika kau tak ingin berusaha padaku. Sudahlah, lupakan
semuanya, aku akan keluar dan kembali kepada semua orang, tidak hanya untukmu.”
“tidak
pagi, jangan lakukan itu. hidupku tak akan sama seperti mereka jika kau pergi
dariku sekarang. Lihat ak sekarang lebih bahagia daripada mereka.” Ucapku
Pagi seketika itu langsung
berlari keluar membuka pintu rumah. Diluar sudah terlalu banyak orang yang
bingung mencari pagi. Ketika aku mencoba menghentikannya, seperskian detik aku
terlambat. Dan akhirnya pintu terbuka, semua orang melihat ke arah rumahku, ke
dalam rumahku. Pagi berjalan menuju depan rumah. Tubuhku kaku, tak bisa
kugerakkan. Antara takut dan salah.
“hidupmu
akan menjadi hidup jika kau berusaha untuk lebih dari sekedar hidup.”
Saat itulah ayam tiba-tiba
berkokok.
sumber: Anggrianto, Fuat.2017. Menelan Pagi. Radar Bromo. 12 Maret 2017
No comments:
Post a Comment